Ahli hadits bermata buta tapi mampu
mengintegrasikan hadits dengan fiqh
Nama Imam al-Tirmidzi amat panjang, yakni
Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah bin Musa bin al-Dhahhak al-Sulami al-Dharir
al-Bughi al-Tirmidzi. Beliau dilahirkan pada tahun 209 H di desa Tirmidz,
sebuah kota
kuno yang terletak di pinggiran sungai Jihon (Amoderia), sebelah utara Iran .
Imam al-Tirmidzi merupakan figur yang
cerdas, tangkas, cepat hafal, zuhud, juga wara'. Sebagai bukti kerendahan
pribadi, beliau senantiasa mencucurkan air mata, sehingga kedua bola matanya
memutih yang berdampak kebutaan pada masa tuanya. Dengan adanya musibah
kebutaan inilah beliau juga disebut al-Dharir (yang buta).
Tentang sejak kapan terjadinya musibah
kebutaan kedua mata Imam al-Tirmidzi, banyak terjadi silang pendapat. Ada sebagian yang
menyatakan beliau buta sejak lahir, sementara ulama yang lain menyatakan ketika
usianya mulai senja. Tapi mayoritas ulama sepakat, beliau tidak buta sejak
lahir, melainkan musibah itu datang belakangan. Yusuf bin Ahmad al-Baghdadi
menuturkan, “Abu Isa mengalami kebutaan pada masa menjelang akhir usianya.”
Pengembaraan Ilmiah• Sejak usia dini,
Tirmidzi sudah gemar mempelajari dan mengkaji berbagai disiplin ilmu keislaman,
baik fiqh maupun hadits. Dalam rangka mempelajari dan mengkaji ilmu-ilmu
inilah, beliau harus mengembara ke berbagai wilayah Islam. Tirmidzi tercatat
pernah mengembara ke Khurasan ,
Iraq , dan
Hijaz.
Dalam lawatannya itu, Tirmidzi banyak
mengunjungi ulama-ulama besar untuk mendengar hadits yang kemudian dihafal dan
dicatat untuk kemudian dikumpulkan dalam sebuah kitab yang tersusun secara
sistematis. Beliau tidak pernah menyia-nyiakan kesempatan tanpa menggunakan
secara efektif.
Selama perjalanan pengembaraannya, Imam
al-tirmidzi belajar dari banyak guru. Di antaranya: Ziyad bin Yahya al-Hassani
(wafat 254 H), Abbas bin Abd al-`Adhim al-Anbari (w 246), Abu Said al-Asyaj
Abdullah bin Said al-Kindi (w 257), Abu Hafsh Amr bin Ali al-Fallas (w 249),
Ya`qub bin Ibrahim al-Dauraqi (w 252), Muhammad bin Ma`mar al-Qoisi al-Bahrani
(w 256), dan Nashr bin Ali al-Jahdhami (w 250 H).
Imam-imam di atas, selain tercatat
sebagai guru-guru Imam al-Tirmidzi, juga tercatat sebagai guru Imam al-Bukhari,
Imam Muslim, Imam Abu Dawud, Imam al-Nasai, dan Imam Ibn Majah. Dan hanya
sembilan guru inilah yang masing-masing menjadi guru Imam Hadits yang enam.
Selain berguru kepada imam di atas, Imam
al-Tirmidzi sebelumnya juga memiliki beberapa guru, antara lain; Abdullah bin
Muawiyah al-Jumahi (w 243), Ali bin Hujr al-Marwazi (w 244), Suwaid bin Nashr
bin Suwaih al-Marwazi (w 240), Qutaibah bin Said al-Tsaqafi Abu Raja (w 240),
Abu Mush`ab Ahmad bin Abi Bakr al-Zuhri al-Madani (w 242), Muhammad bin Abdul
al-Malik bin Abi al-Syawarib (w 244), Ibrahim bin Abdullah bin Hatim al-Harawi
(w 244), dan Ismail bin Musa al-Fazari al-Suddi (w 245). Tirmidzi juga belajar
kepada Imam al-Bukhari, Imam Muslim, dan Imam Abu Dawud.
Murid-murid Imam al-Tirmidzi
Karena kehebatannya dalam disiplin ilmu
hadits, tak pelak lagi, banyak orang yang ingin menyerap dan mengkaji kedalaman
pengetahuannya dengan menjadi muridnya. Mereka yang tercatat mengambil hadits
dari Imam al-Tirmidzi di antaranya: Makhul bin al Afdhal, Muhammad bin Mahmud
Anbar, Hammad bin Syakir, Abd bin muhammad al-Nafsiyyun, al-Haisam bin Kulaib
al-Syasyi, dan Ahmad bin Yusuf al-Nasafi. Dan yang terpenting adalah Abi
al-Abbas al-Mahbubi Muhammad bin Ahmad bin Mahbub al-Marwazi (w 346) yang
meriwayatkan karya terbesar Imam al-Tirmidzi, Jami' al-Tirmidzi.
Imam al-Tirmidzi merupakan sosok manusia
yang shalih, taqwa, wara', zuhud, dan yang tak kalah pentingnya, kekuatan
hafalannya diakui oleh para ulama. Abdurrahman bin Muhammad al-Idrisi
menuturkan, “Muhammad bin Isa bin Saurah al-Tirmidzi al-Dharir adalah seorang
imam dalam ilmu hadits yang pendapatnya banyak dirujuk para ulama. Beliau
mengarang kitab al-Jami', al-Tawarikh (sejarah), dan al-UIlal. Sosok yang alim
lagi brilian (cemerlang) ini diakui kekuatan hafalannya.”
Al-Hakim Abu Ahmad menukil dari gurunya, Ahmad, “Ketika Imam Muhammad bin
Ismail al-Bukhari meninggal, ia tidak meninggalkan seorang ulama yang menjadi
penggantinya di Khurasan selain Imam al- Tirmidzi yang dalam pengetahuannya,
luhur dalam ke-wara'-an dan kezuhudan. Imam al-Tirmidzi senantiasa menangis
sehingga beliau menjadi buta pada tahun-tahun terakhir.”
Abu Ya'la al-Khalili pernah menuturkan
bahwa Tirmidzi merupakan figur penghafal dan ahli hadits yang mumpuni dan telah
diakui oleh para ulama. Beliau mempunyai kitab al-Jami' dan al-Jarh wa
al-TaUdil. Ia dikenal sebagai orang yang dapat dipercaya, dan sebagai ulama
yang menjadi panutan, serta berpengetahuan luas. Kitab Jami'-nya al-Tirmidzi
merupakan bukti nyata atas keagungan reputasinya tentang hadits.
Semua ini membuktikan bahwa sosok
Tirmidzi memang pantas mendapat sanjungan. Namun demikian, ternyata ada
sementara ulama yang menganggap bahwa Imam al-Tirmidzi merupakan sosok yang
tidak diketahui asal-muasal dan jatidirinya (majhul al-hal), sehingga --secara
otomatis-- periwayatannya ditolak begitu saja. Pandangan seperti inilah yang
antara lain dilontarkan
Imam Ibn Hazm al-Dhahiri.
Statemen Ibn Hazm al-Dhahiri yang cukup
kontroversial dan bertolak belakang dengan pandangan mayoritas ulama ini telah
membuat geger, terutama di lingkungan ulama hadits. Bahkan Ibn Hazm banyak
mendapat kecaman, antara lain datang dari Imam Ibn Hajar al-Asqalani dalam
kitab Tahdzib al-Tahdzib. Dalam kitab itu sikap Ibn Hazm al-Dhahiri dianggap
sebagai satu wujud kesombongan terhadap kedudukan para ulama yang telah masyur.
Imam al-Dzahabi dalam kitabnya Mizan
al-I'tidal fi Naqd al-Rijal, mengatakan, “Al-Tirmidzi adalah al-hafidh (ahli
hadits) yang kondang, penulis kitab al-Jami' terpercaya dan disepakati
periwayatannya.” Sedangkan pandangan Ibn Hazm al-Dhahiri tentang kemajhulan
Tirmidzi disebabkan ia tidak mengenal dan mengetahui pribadi Tirmidzi beserta
hasil-hasil karyanya, seperti al-Jami' dan al- Ilal.
Sementara itu, Ibn Katsir dalam karyanya
al-Bidayah wa al-Nihayah menuturkan, “Pandangan Ibn Hazm tentang kemajhulan
al-Tirmidzi tidak akan mengurangi keunggulannya. Sikap ini tidak akan
merendahkan pribadi al-Tirmidzi di kalangan para ulama. Bahkan sebaliknya akan
menurunkan derajat Ibn Hazm sendiri dalam pandangan para ulama.”
Komentar ulama
Sebagai ulama yang berpengetahuan luas,
Imam al-Tirmidzi telah berhasil menyusun beberapa buah kitab, antara lain:
al-Jami' al-Shahih (Jami al-Tirmidzi atau Sunan al-Tirmidzi), al-Syamail
al-Nabawiyyah, al-UIlal, al-Tarikh, al-Zuhd, al-Asma wa al-Kuna.
Karya Imam al-Tirmidzi yang sangat
monumental adalah kitab al-Jami al-Shahih atau Jami al-Tirmidzi, ada juga yang
menyebutnya Sunan al-Tirmidzi. Namun, tampaknya para ulama lebih banyak
menggunakan istilah al-Jami' ketimbang Sunan.
Banyak komentar ulama yang mengagungkan karya besar Imam al-Tirmidzi ini.
Al-Hafidh Abu al-Fadhl al-Maqdisi mengatakan, “Aku mendengar Imam abu Ismail
Abdullah bin Muhammad al-Anshari berkata `Menurutku, kitab Jami' al-Tirmidzi
lebih bermanfaat ketimbang kitab Shahih karya al-Bukhari dan Muslim, karena
kedua kitab Shahih karya al-Bukhari dan Muslim ini kurang dapat dipahami
kecuali oleh orang yang mempunyai pengetahuan mendalam. Sementara kitab Jami'
al-Tirmidzi dapat bermanfaat bagi semua orang, karena ia sekaligus mensyarahi
(menjelaskan) maksud dari hadis-per hadis.“
Abu Ali Manshur bin Abdullah al-Khalidi menuturkan bahwa al-Tirmidzi berkata,
“Setelah selesai disusun, kitab ini aku perlihatkan kepada ulama-ulama Hijaz,
Iraq dan Khurasan. Mereka semua menerimanya. Maka siapa yang menyimpan kitabku
ini di rumahnya, seolah-olah di dalam rumah itu ada seorang Nabi yang selalu
berbicara.”
Al Hafidh Ibn al-Katsir menuturkan, “Ini
adalah kitab Imam al-Tirmidzi yang paling bagus dan paling banyak manfaatnya,
paling bagus susunannya, dan paling sedikit pengulangannya. Di dalamnya
terdapat sesuatu yang tidak dijumpai di dalam kitab lain, berupa penyebutan
mazhab-mazhab, segi-segi pengambilan dalil (istidlal), dan macam-macam hadits
dari yang shahih, hasan, dan gharib. Di dalamnya juga dijelaskan tentang jarh
dan ta'dil (evaluasi negatif dan positif atas rawi-rawi hadits).”
komentar-komentar ulama di atas itu cukup
untuk dijadikan sebagai bukti tentang keunggulan karya Imam al-Tirmidzi ini.
Ada juga sebagian ulama yang mengkritik beberapa hadits yang dicantumkan oleh
al-Tirmidzi dalam kitabnya itu dengan alasan bahwa hadits-hadits itu palsu.
Kritikan seperti ini pernah dilontarkan oleh ahli hadits Imam Ibn al-Jauzi
dalam kitabnya al-Maudhu'at. Kritikan serupa juga pernah dilontarkan oleh Imam
Ibn Taimiyah beserta muridnya, Imam al-Dhahabi. Hadits yang diduga palsu
sebanyak 30 buah. Hanya saja, vonis palsu yang dialamatkan padanya telah
disanggah dan ditepis oleh Jalal al-Din al-Suyuti, seorang pakar hadits dari
Mesir yang hidup pada abad IX H.
Kiranya perlu kita ketahui bersama bahwa
hadits-hadits yang dikritik karena diduga palsu hanyalah hadits yang menyangkut
fadlail al-a'mal (keutamaan amal). Apabila pengkritik memandangnya sebagai
hadits palsu, maka Imam al-Tirmidzi sendiri tidak memandang demikian. Sebab,
hampir semua ahli hadits, termasuk Imam al-Tirmidzi, tidak mau meriwayatkan
hadits palsu yang telah diketahui kepalsuannya secara nyata.
Integrasi HadiTs-Fiqih
Sebelum munculnya Imam al-Tirmidzi,
kualifikasi Hadis hanya terbagi menjadi Hadits Shahih dan Hadits Dhaif. Shahih
adalah hadits yang antara lain diriwayatkan oleh rawi yang kuat hafalannya
(dhabith), dan wajib diterima guna diamalkan. Sementara dhaif merupakan hadits
yang antara lain diterima dari rawi yang mempunyai daya ingat lemah, dan
periwayatannya harus ditinggalkan.
Dari sini, Imam al-Tirmidzi mempunyai
pemikiran yang sangat brilian. Ketika suatu hadits diriwayatkan oleh rawi yang
standar hafalannya di bawah rawi Hadits Shahih, namun masih unggul dibanding
rawi Hadits Dhaif sehingga hafalannya dapat disebut `tidak kuat sekali, namun
lemahpun tidak`, maka beliau mengkatagorikan periwayatan seperti ini kepada
tingkat hasan. Oleh karenanya, Imam al-Tirmidzi-lah orang yang sangat berperan
membagi hadits menjadi shahih, hasan, dan dhaif. Sebelum beliau tidak seorang
ulamapun yang menyinggung-nyinggung tentang istilah hadits hasan. Dan ungkapan
ini banyak sekali kita temukan dalam karya besar beliau.
Peran Imam al-Tirmidzi yang lain yang
juga sangat penting adalah penyatuan antara paradigma hadits dan fiqh dalam
satu kitab. Imam al-Bukhari dan Imam Muslim, sebagaimana kita ketahui, tidak
menjadikan kitabnya sebagai ajang perbandingan antara berbagai mazhab fiqh.
Kedua Imam Hadits itu hanya mencantumkan hadits-hadits semata, tanpa sedikitpun
memberikan pen-syarah-an, apalagi menukil berbagai pendapat Imam mazhab.
Berbeda dengan Imam al-Tirmidzi yang mengintegrasikan antara hadits dan fiqh.
Hal inilah yang menjadi keistimewaan sekaligus pembeda antara kitab Jami'
al-Tirmidzi dengan kitab-kitab hadits yang lain.
Kalau kita lihat, kitab Jami' al-Tirmidzi
selalu menampilkan perbandingan pendapat antarmazhab. Perbandingan ini selalu
di-bareng-kan tatkala beliau menuliskan sebuah hadits. Bahkan, karena banyaknya
memuat perbandingan fiqh, kitab al-Tirmidzi ini nyaris terkesan sebagai kitab
fiqh, bukan kitab hadits. Statemen seperti ini tidaklah berlebihan, mengingat
setiap hadits selalu diperjelas melalui metode pemikiran fiqh.
Namun demikian, bukan berarti al-Tirmidzi
merupakan figur sektarian, berpegang pada salah satu mazhab sebagaimana disalah
pahami oleh sebagian ulama Mazhab Hanafi di mana beliau dianggap sebagai
pengikut Mazhab Syafi'i. Semua itu merupakan pandangan yang keliru, karena
beliau tidak terikat sedikitpun oleh salah satu mazhab, baik Hanafi, Maliki,
Syafi'i, maupun Hambali. Beliau merupakan tokoh ynag hanya mengikuti
Sunah-sunah Nabi saw, seorang mujtahid yang tidak ber-taqlid (mengikut) kepada
siapapun.
Ketidakberpihakan Imam al-Tirmidzi pada
salah satu pemikiran mazhab fiqh ini dapat dipahami dengan tidak adanya unsur
pengunggulan terhadap salah satu pandangan mazhab di dalam kitabnya. Seandainya
beliau berafiliasi pada Mazhab Syafi'i, niscaya beliau akan mendominasikan
pandangan-pandangan Imam Syafi'i dalam karyanya. Begitu juga kalau beliau
bermazhab Hanafi, Maliki, atau Hambali. Tapi ternyata hal seperti ini tidak
pernah dilakukannya. Bahkan terkadang pandangan-pandangan mereka (para Imam
Mazhab) juga mendapat kritikan dari al-Tirmidzi. Ini merupakan salah satu bukti
bahwa pandangan beliau tidak sektarian.
Tutup Usia
Ada perbedaan pendapat di antara para
ulama mengenai kapan tepatnya Imam al-Tirmidzi meninggal dunia. Al-Sam'ani
dalam kitabnya al-Ansab menuturkan bahwa beliau wafat di desa Bugh pada tahun
275 H. Pendapat ini diikuti oleh Ibn Khallikan. Sementara yang lain mengatakan
beliau wafat pada tahun 277 H.
Sedangkan pendapat yang benar adalah sebagaimana dinukil oleh al-hafidh
al-Mizzi dalam al-Tahdzib dari al-Hafidh Abu al-Abbas Ja'far bin Muhammad bin
al-Mu'taz al-Mustaghfiri yang mengatakan “Abu Isa al-Tirmidzi wafat di daerah
Tirmidz pada malam Senin 13 Rajab 279 H. Beliau wafat pada usia 70 tahun dan
dimakamkan di Uzbekistan.“ Inna lillahi wa inna ilaihi raajiun. Semoga Allah
Swt menerima segala jerih payah beliau dalam menyebarluaskan Sunnah-sunnah Nabi
saw.